Ramadhan Bersama Nabi

Rasulullah Saw mengabarkan kekhawatirannnya bahwa betapa banyak orang yang berpuasa, namun tak ada yang mereka dapatkan dari puasanya melainkan rasa lapar dan dahaga semata. (HR. Al-Thabrani).

Hadits ini memberi alarm bahwa puasa Ramadhan bukan menjamin kualitas ibadah kita lebih baik. Harus ada usaha. Ternyata, mayoritas orang yang puasa tidak berpahala alias game over dalam petualangan merebut harta karun “taqwa”. Na’udzubillah. Lantas bagaimana menjadi orang puasa yang berkualitas?

Islam menata aneka aturan dalam menyambut dan menjalani serta melepas Ramadhan. Allah Swt., mengingatkan: “Katakanlah: Dengan kurnia Allah dan rahmatNya, hendaklah dengan itu mereka bergembira. Kurnia Allah dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan” (QS. Yunus: 58).

Yach, persiapan menyambut bulan Ramadhan dapat berupa rasa gembira dan senang akan bertemu ramadhan. Ini adalah kerja-kerja hati yang penuh iman. Ada semacam kerinduan jiwa menyambut bulan terbaik tersebut. Hal ini sesuai sabda Rasulullah Saw, barangsiapa yang bergembira karena kedatangan Ramadhan, maka Allah haramkan jasadnya disentuh api neraka. Hadits asal kitab Durratu al-Nashihin tersebut memang dha’if (lemah) bahkan maudhu (palsu) bagi kalangan ahli hadits. Namun, dapat dijadikan nasehat dalam menyambut Ramadhan alias fadhilah amal.

Ada semacam adrenalin menyambut kedatangannya. Walau ia mengenal Ramadhan sebagai bulan yang penuh lapar dan rasa panas dalam, namun hal itu bukan menjadi kekhawatiran. Justru dianggap sebagai terapi rabbani menuju predikat “la’allakum tattaqun”.

Kemudian, untuk menjalani Ramadhan, banyak amaliah yang familiar yang dusuguhkan di bulan teragung ini. Ada sedekah, membaca alquran, berbagi saat buka puasa, tarawih, witir, iktikaf, qiyamullail, dan masih banyak lagi. Pahalanya berbeda dari bulan sebelumnya. Banyak bonus dan pelipatgandaan pahala dari aneka amaliyah tersebut. Bahkan, pahala unlimited. Termasuk ampunan Allah yang telah disuguhkan. Namun apakah kita mau menyantapnya?

Dalam hal ini, Rasulullah Saw mengingatkan: “Setiap amalan kebaikan anak Adam akan dilipatgandakan menjadi 10 hingga 700 kali dari kebaikan yang semisal. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman (yang artinya), “Kecuali puasa, amalan tersebut untuk-Ku dan Aku sendiri yang akan membalasnya karena dia telah meninggalkan syahwat dan makanannya demi Aku.” (HR. Muslim)

Adapun melepas Ramadhan adalah berupa penyerapan nilai-nilai puasa dan Ramadhan yang ikut mewarnai hidup kita ke depan. Jangan sampai bulan ramadhan hanya dijadikan stasiun rohani temporer yang ditinggalkan begitu saja seiring masa mudik lebaran masih hangat. Tentu, sesuai sabda Rasulullah Saw, “Seandainya umatku mengetahui apa yang terdapat dalam bulan Ramadhan, maka sungguh mereka akan berharap satu tahun itu Ramadhan penuh. Sesungguhnya surga berhias menyambut Ramadhan setiap tahunnya”. (HR. Ibn Khuzaimah).

Ulama Internasional asal Turki, Al-‘Allamah Al-Syaikh Badiuzzaman Said Nursi rahimahullah mengatakan bahwa puasa di bulan Ramadhan merupakan kunci syukur yang hakiki, tulus dan agung serta bersifat menyeluruh. Sebab, sebagian besar manusia tidak mengetahui nilai nikmat yang demikian banyak lantaran tidak merasakan pedihnya lapar. Misalnya orang yang kenyang, terutama kalangan yang kaya tidak dapat mengetahui tingkat nikmat yang terdapat pada sekerat roti kering. Namun orang mukmin di saat berbuka dapat merasakannya sebagai nikmat ilahi yang sangat berharga. Indera pengecapnya menjadi saksi atas hal itu. Oleh sebab itu, mereka yang berpuasa di bulan Ramadhan, mulai dari Presiden sampai yang paling miskin, memperoleh syukur maknawi dengan menyadari nilai nikmat-Nya.

Yach, untuk Ramadhan yang berkualitas, mari kita ber-Ramadhan bersama Nabi. Ramadhan bersama Nabi membuat kita berjalan dalam rel para ahli puasa yang menginginkan Ramadhan ini mendongkrak kualitas kita, baik energi iman maupun kepeduliaan sosial. Namun, alangkah banyak yang berpuasa tanpa “kehadiran” Rasulullah Saw di sampingnya. Mereka puasa tapi korupsi. Mereka puasa tapi black campaign. Mereka puasa tapi ghibah. Mereka puasa namun saling musuh. Mereka puasa tapi tidak shalat subuh bahkan tarwih. Inilah saatnya meraih dan “mengenggam” tangan Nabi seraya beriringan bersama beliau dalam menyambut, menjalani dan melepas Ramadhan. Kelak genggaman hangat tersebut membekas sebagai tiket menuju pintu surga Ar-Rayyan, pintu khusus bagi yang berpuasa bersama Nabi, besama Rasulullah, bersama manusia terbaik tersebut di sampingnya. Amin. Wallahu a’lam. Selamat berpuasa.

Wallahul muwaffiq ila aqwamith Thariq.

Penulis: Muhammad Nasir, Dosen Universitas Islam Makassar

Translate »