AG. H. MUHAMMAD AS’AD AL-BUGISI DAN KARYA TULISNYA

Oleh: Dr. M. Nasir Baharuddin  (Pengajar pada Fakultas Agama Islam UIM Makassar)

Di zaman Rasulullah SAW, aktivitas menulis sudah menjadi tradisi para sahabat Rasulullah SAW. Teologi surah al-‘Alaq membakar semangat mereka untuk memainkan al-Qalam (pena) sebagai channel langit dari Tuhan untuk mengajar manusia apa yang tidak mereka ketahui. Bahkan sebelum jaman Rasulullah SAW, aktifitas menulis sudah memberikan jejaknya. كَمَثَلِ الْحِمَارِ يَحْمِلُ اَسْفَارًاۗ merupakan penggalan ayat QS. Al-Jumu’ah ayat 5 dan penamaan Surah al-Syu’ara (para penyair) menunjukkan jejak arkeologis historis bahwa tradisi tulis menulis di dunia arab bukan hal yang baru. Ia adalah tradisi.

Para sahabat beliau mengambil peran dakwah yang tidak kecil. Di antara mereka yang banyak dikenal sebagai penulis wahyu seperti Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin ‘Affan, Ali bin Abi Thalib, ‘Abban bin Sa’id, Abu Umamah Al-Bahili, Abu Ayyub Al-Anshari, Abu Salamah, Ubay bin Ka’ab, Al-Arqam bin Abi al-Arqam, Usaid bin Hudhair, Tsabbit bin Qays, Ja’far bin Abi Thalib, Jahm bin Sa’ad, Hathib bin Abi Baltha’ah, Hudzaifah Ibn al-Yaman, Hanzhalah, Khalid bin Sa’id, Zubair bin Awwam, Zaid bin Tsabbit, Sa’ad Ibnu Rabi’, Sa’ad bin Ubadah, Syurahbil bin Hasna, Amir bin Fuhaira’, Abdullah bin Rawahah, Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, Amr bin Ash, Muhammad bin Maslamah, Mu’adz bin Jabal, Mu’awiyyah bin Abi Sufyan, dan lain-lain.

Hingga masa Khulafa al-Rasyidin, tabi’in, tabi’ al-tabi’in dan seterusnya, para sahabat dan Ulama salaf dan khalaf melakukan aktivitas menulis. Sehingga banyak melahirkan kitab dan karya monumental. Menurut KH.Husein Muhammad, dunia tulisan atau literasi para Ulama terdahulu tidak lepas dari peranan waktu, sampai-sampai banyak Ulama yang tidak sempat memilih menikah demi ilmu pengetahuan yang tertuang dalam buku yang terkenal, al-‘Ulama al-‘Uzzab Alladzina Atsaru al-‘Ilm ‘ala al-Zawaj. Namun, ada juga yang memilih keduanya dan beriringan. Tentu dengan manajemen waktu yang benar-benar tertata dan penuh berkah.

Tentu dari itu, Ulama dan kitab, dua hal yang tak dapat dipisahkan. Namun, Ulama dan menulis, adalah hal yang boleh jadi terpisah. Ada Ulama yang piawai mengarang, dan ada yang “tidak” sempat mengarang.

Ulama-ulama klasik banyak menelurkan buku atau kitab. Sebut saja Kitab al-Muwaththa‘ karya Imam Malik, Al-Umm karya Imam Syafi’i dan Ihya’ Ulumiddin karya Imam Abu Hamid al-Gazali. 

Imam Nawawi, Imam Al-Suyuthi, Ibnu Sina, Ibnu Arabi, Ibnu Rusyd, Ibnu Malik dan masih banyak lagi adalah para Ulama yang mengisi hari-harinya untuk melahirkan karya tulis. Bayangkan saja, dalam kitab al-Tahaddus bi al-ni’mah karya Imam al-Suyuti, Ulama yang menulis tafsir al-Jalalain bersama Jalaluddin al-Mahalli ini menuliskan prestasi-prestasi yang telah diraihnya dalam bidang keilmuan dan memuji tulisan-tulisannya yang mencapai 600 judul kitab. Demikian pula dengan Imam al-Gazali yang mencapai 400 judul kitab dan Imam al-Nawawi mencapai 40 kitab yang monumental. Misalnya karya Imam al-Nawawi yang cukup terkenal, Syarh Shahih Muslim yang mencapai 18 jilid dan al-Majmu Syarh al-Muhazzab  mencapai 32 jilid.

Kebiasaan menulis Ulama dulu, pun dilakukan oleh salah seorang Ulama besar asal tanah Bugis, Sengkang, Sulawesi Selatan, AG Haji Muhammad As’ad. Meski generasi mutakhir kini belum banyak yang mengetahui isi kotak pesona kecerdasan Ulama Bugis kelahiran tanah suci Mekah, 6 Mei 1908 itu, ternyata AG. Haji Muhammad As’ad telah mengarang puluhan buah karya tulis. Karya beliau yang telah dideteksi mencapai 29 buah karya (barangkali masih ada lainnya yang belum diketahui). Keterangan ini dapat dilihat dari beberapa buku sejarah, penelitian, artikel jurnal dan semacamnya tentang beliau. Adapun karya tulis beliau adalah:

  1. Mahya’ al-Taisir fi ‘ilm al-Tafsir
  2. Izhar al-Haqiqiyyah
  3. Kitab al-Aqa’id
  4. Kitab Ma La Yasa’u al-Muslim Jahluh: Majmal ‘Aqaid Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
  5. Al-Nukhbah al-Buqisiyyah fi al-Sirah al-Nabawiyyah
  6. Kitab al-Zakah
  7. Al-Kawkab al-Munir, Nazm Usul ‘Ilm al-Tafsir
  8. Muqaddimah al-Syarh al-Kabir
  9. Sullam al-Usul
  10. Nayl al-Ma’mul ‘ala Nuzum Sullam al-Usul
  11. Tuhfah al-Faqir
  12. Mursyid al-Suwwam ila ba’d Ahkam al-Siyam
  13. Irsyad al-’Ammah
  14. Al-Barahin al-Jaliyyah fi Isytirat Kawn al-Khutbah bi al-‘Arabiyyah
  15. Al-Ajwibah al-Mardiyyah ‘ala man Radd al-Barahin al-Jaliyyah fi Isytirat Kawn al-Khutbah bi al-‘Arabiyyah
  16. Tafsir Juz ‘Ammah
  17. Tafsir Surah al-Naba’
  18. Nibras al-Nasik fi ma yahimm min al-Manasik
  19. Sabil al-Sawab
  20. Majallah al-Mau’izah al-Hasanah
  21. Kitab al-Zakah
  22. Al-Qawl al-Maqbul fi Sihhah al-Istidlal ‘ala Wujub Ittiba’ Al-Salaf fi Khutbah ‘ala Nahw Al-Mansub
  23. Al-Qawl al-Haqq
  24. Al-Ibanah al-Buqisiyyah ‘an Sullam al-Diyanah al-Islamiyyah bi al-’Arabiyyah wa al-Buqisiyyah
  25. Hajah al-’Aql ila al-Din
  26. Wasiyyah Qayyimah fi al-Haqq
  27. Kitab Al-Akhlaq li al-Madaris al-Ibtidaiyyah
  28. Al-Qabul al-Maqbul
  29. Salah al-Raiyyah wa al-Ru’ah fi Iqam al-Salah wa Ita’ al-Zakah
  30. dan lain-lain yang belum diketahui.

Karya-karya beliau di atas menggambarkan sisi kemapanan intelektual beliau. Kemapanan intelektual beliau dapat dilacak dari bukunya, al-Ajwibah al-Mardiyyah, beliau mengutip puluhan Ulama dan mengupas pendapat-pendapatnya dan “mematahkan” pendapat sebahagian Ulama yang tidak mewajibkan bahasa arab dalam khutbah Jumat. Meski ini adalah perkara furu’iyyah dalam fiqh, namun hal ini menunjukkan kemapanan beliau dalam memberi kesan pustaka dalam berbagai ulasannya, patut dijadikan rujukan dalam berpendapat di tengah banyaknya orang yang berpendapat “tanpa pernah” membaca banyak kitab.

Salah satu karya beliau yang membuktikan bahwa beliau adalah Mufassir adalah Tafsir Surah al-Naba’. Adapun karya beliau tentang Usul Tafsir termuat dalam kitab al-Kaukab al-Munir yang member isyarat bahwa beliau sangat menguasai metodologi tafsir. Beliau juga seorang penulis syair yang ulung, Penguasaan terhadap ilmu ‘Arud sangat luar biasa. Beberapa karya beliau ditulis dalam bentuk syair (nazm)

Adapun karya beliau yang menampilkan kefaqihan dalam ilmu fiqh adalah Mursyid al-Suwwam ila ba’d Ahkam al-Siyam, Kitab al-Zakah dan sebagainya.

Di samping menggunakan bahasa Arab, beliau menulis banyak karyanya dalam bahasa Bugis dan menggunakan huruf lontara Bugis dalam bahasa sederhana. Hal-ini memberikan isyarat bahwa beliau ingin masyarakat wajib memahami ilmu sesuai kebutuhan umat. Bahasa bugis adalah bahasa yang banyak digunakan oleh masyarakat Sengkang kala itu.

Salah satu karya beliau yang dijadikan rujukan adalah Mahya’ al-Taisir fi ‘ilm al-Tafsir. Kitab ini dikutip oleh KH. Bisri Musthafa, Ulama NU asal Rembang, Jawa Tengah tatkala menulis kitab al-Iksir fi Tarjamah ‘Ilm al-Tafsir. Kitab ini berisi kajian kaidah-kaidah ilmu tafsir al-Qur’an yang ditulis dalam bahasa Jawa aksara Arab atau Pegon. Karya ini sekaligus merupakan terjemahan dan penjelasan berbahasa Jawa atas Manzhumah al-Tafsir  karangan Syaikh ‘Abd al-‘Aziz bin ‘Ali al-Zamzami al-Makki (w. 963 H/ 1556 M).

Dalam muqaddimahnya, KH. Bisri Musthafa menyinggung jika ia menuliskan karya al-Iksir ini setelah beliau merampungkan karya sebelumnya, yaitu al-Awzad al-Musthafawiyyah fi Tarjamah al-Manzhumah al-Baiquniyyah dalam bidang kajian kaidah-kaidah ilmu mustalah hadis. KH. Bisri Musthafa menulis: “…Setelah menerjemah Manzhumah al-Baiquni dapat diselesaikan, saya hendak menyuguhkan kepada para mitra yang juga memerlukan, itung-itung sebagai gandengan terjemah tersebut, yaitu saya suguhkan terjemah Nazam al-Tafsir karangan Syaikh al-Zamzai yang wafat tahun 963)…”

Zainul Milal Bizawie, peneliti Ulama Nusantara menyampaikan bahwa terdapat informasi menarik lainnya yang disampaikan oleh KH. Bisri Musthafa terkait salah satu rujukan yang beliau gunakan dalam al-Iksir, yaitu kitab Mahya’ al-Taisir fi ‘Ilm al-Tafsir karangan seorang ulama Nusantara yang lama bermukim di Makkah, yaitu Muhammad As’ad (w. 1952). AG Haji Muhammad As’ad terhitung sebagai salah satu kunci utama jaringan intelektual ulama Sulawesi-Nusantara-Timur Tengah di awal abad ke-20 yang juga pendiri dari As’adiyah, salah satu organisasi keislaman berhaluan Aswajah di Sulawesi, juga pendiri Pesantren As’adiyah yang terletak di Wajo, Sulawesi Selatan. Artinya, para Ulama Nusantara juga saling mengakui dan mengambil banyak manfaat dari karya-karya Ulama pendahulu atau sezaman dengan mereka.

Laiknya banyak Ulama-ulama di pulau Jawa dan Sumatra yang direpublikasikan buku-buku atau karya-karyanya, penulis mengharap ada tangan-tangan brilliant yang mampu menulis ulang karya beliau dan karya Ulama Bugis lainnya dalam versi terjemahan bahasa Bugis dan Indonesia untuk kepentingan edukasi dan wacana Islam. Hal ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti, termasuk pemerhati karya tulis Ulama Bugis seperti Prof. Kadir Ahmad, Prof. Ahmad Rahman, AG. Dr. Muhyiddin Tahir, Dr. Firdaus Muhammad, KM. Musdawi dan masih banyak lagi, dan agar tidak terjadi kepunahan warisan monumental khazanah pesantren Bugis. Tulisan ini diharap menjadi catatan ringan untuk para santri dan calon Ulama untuk mempersiapkan diri secara ikhlash dengan berkarya sebagai uswah dari para pendahulu agar pengetahuan dan karya mereka bisa dinikmati oleh generasi berikutnya.

Translate »