Akademisi UIM, M. Nasir Baharuddin yang sekaligus ketua Prodi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Agama Islam UIM Makassar, ditanya tentang hukum berfoto-foto saat khatib ‘Id sedang khutbah. Alumni Ma’had ‘Aly As’adiyah Sengkang ini menulis jawaban dalam akun facebook miliknya sebagai berikut:
Bismillah. Dalam khazanah fiqh, ada banyak khutbah, diantaranya khutbah jumat, idul fitri, idul adha, al-khusuf, al-kusuf, al-istisqa, wuquf dan sebagainya. Khutbah diadakan untuk didengarkan dengan baik. Maka, “فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ” (ia simak dan konsentrasi) mesti terdepan. Karena inti materi khutbah akan diperoleh jika kita berkonsentrasi pada konten khutbah sang khatib. Dan kita akan melaksakan shalat ‘id 1 Syawal 1440 H yang ada khutbahnya. Beberapa catatan penting harus digaris bawahi terkait khutbah.
Untuk persoalan pada apakah boleh berfoto-foto, selfie atau sejenisnya demi mengabadikan momen penting kala khutbah id dilaksanakan? Menurut hemat saya, jika itu hal tersebut adalah hajat atau kebutuhan seperti seorang wartawan, pengurus mesjid, atau sejenisnya saya rasa itu boleh karena bagian dari hifdzuddin atau memelihara semangat beragama.
Namun, apakah berselfie atau memotret diri dan orang lain dalam situasi khutbah ‘id dibacakan itu diperbolehkan? Menurut hemat saya, khutbah jumat sama dengan khutbah ‘id, sebab terdapat kesamaan shalat, rukun dan syarat. Maka berselfie atau memotret diri dan orang lain tidak diperbolehkan. Ini berangkat dari qiyas dalalah (analogi jejak). Dengan berselfie, amalan khutbah bisa gugur. Bukankah berselfie dapat dilakukan usai ‘id? Apalagi khutbah adalah rangkaian dari pada shalat yang menyertainya.
Terkait kesakralan khutbah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ أَتَى الْجُمُعَةَ فَاسْتَمَعَ وَأَنْصَتَ غُفِرَ لَهُ مَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْجُمُعَةِ وَزِيَادَةُ ثَلاَثَةِ أَيَّامٍ وَمَنْ مَسَّ الْحَصَى فَقَدْ لَغَا
“Barangsiapa yang berwudhu, lalu memperbagus wudhunya kemudian ia mendatangi (shalat) Jum’at, kemudian (di saat khutbah) ia betul-betul mendengarkan dan diam, maka dosanya antara Jum’at saat ini dan Jum’at sebelumnya ditambah tiga hari akan diampuni. Dan barangsiapa yang bermain-main dengan tongkat, maka ia benar-benar melakukan hal yang batil (lagi tercela)” (HR. Muslim)
Hadist di atas dapat dipahami bahwa, bermain-main dengan sebuah benda, baik krikil atau tongkat saat khutbah dibacakan adalah tindakan imoral atau kurang beradap. Ibarat guru menerangkan pelajaran sedang murid bermain pesawat kertas, tentu maksud dan tujuan khutbah menjadi kurang bahkan hilang percuma.
Anjuran menyimak khutbah Idul Fitri juga dikuatkan oleh hadits dari Ummu Athiyah radhiyallahu ‘anha. Beliau menceritakan:
أُمِرْنَا أَنْ نَخْرُجَ فَنُخْرِجَ الحُيَّضَ، وَالعَوَاتِقَ، وَذَوَاتِ الخُدُورِ فَأَمَّا الحُيَّضُ؛ فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ المُسْلِمِينَ، وَدَعْوَتَهُمْ وَيَعْتَزِلْنَ مُصَلَّاهُمْ
“Kami diperintahkan untuk keluar (ketika hari raya), maka kamipun mengajak keluar para wanita haid, para gadis, dan wanita pingitan. Adapun para wanita haid, mereka menyaksikan kegiatan kaum muslimin dan khutbah mereka, dan menjauhi tempat shalat”. (HR. Bukhari & Muslim).
Jika khutbah jumat dihadiri oleh para lelaki setempat, bagaimana dengan khutbah ‘id yang oleh Nabi dianjurkan untuk disimak, bahkan oleh wanita haid sekalipun meski hanya di luar masjid?. Artinya, khutbah ‘id itu adalah sangat penting. Selfie dan sejenisnya justru merusak kesakralannya bahkan membuyarkan konsentrasi dan khidmat orang lain disamping atau dibelakang. Bukankah selfi, berfoto-foto dan sejenisnya itu bisa sehabis khatib turun dari mimbar? Namun ingat, selfi juga punya batasan. Saya kira, saya tak perlu menjelaskannya.
Wallahu a’lam…!!!